Tuesday, June 16, 2009

Jebloknya nilai UNAS Jawa timur

Artikel berikut merupakan berita akan perkembangan pendidikan di Surabaya.

Sumber : Surya-online

Wednesday, 27 June 2007

Dengan kekuatan APBD terbesar di Jawa Timur (2,2 triliun rupiah), mestinya mampu mengantarkan Surabaya sebagai
kota terbaik dalam pelayanan pendidikan dan terbaik pula dalam prestasi pendidikannya
Sejak dua pekan yang lalu, terjadi perbincangan cukup serius banyak pihak tentang hasil Ujian Nasional (Unas).


Perbincangan ini dumulai ketika hasil Unas SMU/MA diumumkan. Dalam konteks Unas SMU ini beberapa pihak
mempertanyakan prestasi Surabaya yang dianggap ”jeblok” yang kemudian dibantah dinas pendidikan
melalui kepala dinasnya bahwa itu tidak benar.


Bantahan itu sendiri masih menyisakan juga perdebatan. Hal ini dikarenakan di satu sisi dinas menggunakan dasar
semata-mata peningkatan kelulusan maupun nilai rata-rata hasil Unas dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan di
sisi lain sebagian masyarakat mengukur prestasi Surabaya juga dengan membandingkan hasil Unas dari daerah lain
terutama daerah sekitar Surabaya.
Menyusul kemudian diumumkan hasil Unas SMK yang justru menunjukkan hasil yang tidak lebih baik alias lebih
lagi dari hasil Unas SMA yang telah diumumkan sebelumnya.


Sekitar sepekan berikutnya, perbincangan tentang jebloknya prestasi pendidikan Surabaya kembali
menyeruak. Hal ini tidak lain karena pada tanggal 21 Juni 2007 hampir semua media massa memberitakan bahwa
prestasi pendidikan Surabaya dilihat dari hasil Unas SMP 2007 ditempatkan pada posisi yang sangat tidak terhormat.
Betapa tidak, Surabaya yang dikenal sebagai kota besar dan kota metropolitan ini memiliki nilai rata-rata Unas SMP
pada rangking ke 14, jauh di bawah daerah-daerah yang mengitarinya mulai dari Gresik, Lamongan dan Sidoarjo yang
berada pada urutan 5 besar.
Jebloknya prestasi Unas SMP ini melengkapi penilaian jebloknya prestasi kualitas pendidikan Surabaya jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Menurut pandangan saya, kondisi ini sangat mencederai
visi Wali Kota yang merupakan visi Surabaya 2005-2010, yakni Surabaya adalah kota yang Smart and Care.


Ini bukanlah persoalan yang bisa disepelekan karena kalau disepelekan bisa menjadi pemicu mulai munculnya
anggapan dari masyarakat bahwa visi Smart and Care yang selama ini didengungkan oleh pasangan wali kota dan wakil
wali kota, Bambang DH - Arif Afandi, hanya sekedar isapan jempol belaka.

Seharusnya visi itu mampu menjadikan Surabaya sebagai kota pendidikan bukan hanya karena banyaknya Perguruan
Tinggi yang ada tetapi juga karena kualitas pendidikan dasar dan menengahnya.
Di sisi lain, dengan kekuatan APBD terbesar di Jawa Timur (2,2 triliun rupiah), mestinya mampu mengantarkan
Surabaya sebagai kota terbaik dalam pelayanan pendidikan dan terbaik pula dalam prestasi pendidikannya. Coba kita
lihat dari APBD 2007 yang berkekuatan sekitar Rp 2,2 triliun tersebut telah dialokasikan untuk pendidikan dengan
anggaran sebesar Rp 476.549.949.790.
Sebuah angka yang sangat besar apalagi jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa Timur.
Dari anggaran sekitar 477 miliar tersebut dialokasikan Rp 371.061.891.061 untuk belanja tak langsung (gaji pegawai dan
guru) dan Rp 105.488.058.729. untuk belanja langsung yang di antaranya sebesar Rp 33.960.476.794 dialokasikan
untuk program pendidikan menengah.
Idealisasi tersebut di atas ternyata bertentangan dengan realita yang terjadi khususnya dari hasil Unas SMP 2007. Oleh
karenanya menurut saya tidaklah salah jika sementara kalangan menganggap bahwa prestasi pendidikan Surabaya sedang jeblok dari posisi yang seharusnya.

Paling tidak ada 2 alasan yang mendasari penilian tersebut.

Pertama, jika dilihat dari jumlah ketidak lulusan siswa, maka
surabaya memiliki jumlah ketidak lulusan yang sangat besar dibanding dengan daerah di sekitarnya.
Di Surabaya ada 3.2 persen siswa SMP yang tidak lulus dari 36.611 siswa yang ikut ujian. Sementara Sidoarjo hanya
0.45 persen yang tidak lulus dari 26.689 siswa, Gresik hanya 0.18 persen, Tulungagung hanya 0.21 persen, Pamekasan
hanya 0.25persen, bahkan Lamongan hanya 0.05 persen. Artinya, dari setiap 1.000 orang siswa di Surabaya ada 32
orang yang tidak lulus, sedangkan dari setiap 1.000 orang siswa di Sidoarjo hanya lima orang yang tidak lulus, Gresik
dua orang, Tulungagung dua orang, Pamekasan tiga orang dan Lamongan ”setengah” orang.

Kedua, Jika dilihat dari nilai rata-rata hasil Unas, maka Surabaya berada di posisi yang memprihatinkan, yakni di posisi
14 dengan nilai rata-rata 22,51. Sementara lima besar ditempati daerah lain secara berturut-turut Gresik (24.37),
Lamongan (24.19), Tulungagung (24.09), Pamekasan (23.93) dan Sidoarjo (23.88). Dari dua realita inilah saya melihat
wajar jika kemudian muncul ungkapan bahwa prestasi pendidikan Surabaya tahun ini jeblok bila
dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.


Tidak Serius


Meskipun belum tentu semua pihak setuju, tetapi relita di atas menurut saya bisa mengantarkan pada beberapa
kesimpulan terkait dengan Pendidikan Kota Surabaya. Hasil Unas yang ”jeblok” tersebut bisa
mengindikasikan bahwa program Pemerataan Pendidikan dan Peningkatan Mutu Pendidikan khususnya terkait dengan
Wajib Belajar 9 Tahun di Surabaya belum berhasil alias gagal.

Hal ini dikarenakan penilaian terhadap prestasi pendidikan Surabaya sebagai kota besar tidak boleh hanya diukur
dengan peningkatan capaian dari tahun ke tahun saja, tetapi juga harus dibandingkan pula dengan keberhasilan daerah
lain yang justru APBD-nya lebih kecil dari Surabaya.
Meskipun angka ketidaklulusan siswa SMP Surabaya bisa ditekan dari lima persen di tahun 2006 menjadi 3.2 persen di
tahun 2007 ini, itu tidak serta merta bisa menghapus munculnya pertanyaan mengapa Surabaya yang memiliki berbagai
kelebihan mulai dari sarana, prasarana dan anggaran justru memiliki jumlah ketidaklulusan yang jauh lebih besar jika
dibanding daerah sekitarnya?

Juga munculnya pertanyaan mengapa Surabaya memiliki kualitas sangat rendah, yang ditandai dengan nilai rata-rata
yang berada pada rangking ke 14, jauh tertinggal dari daerah yang ada di sekitarnya.
Kalau dilihat potensi yang ada, maka tidak logis jika Surabaya memiliki prestasi yang ”jeblok” seperti ini
kecuali memang ada ketidakseriusan dari Pemkot Surabaya, dalam hal ini dinas pendidikan, untuk melakukan upaya
pemeratan dan pendidikan khususnya WAJAR 9 Tahun.

Pertanyaannya adalah benarkah pemkot serius dalam melaksanakan Wajar 9 Tahun? Dan apa benar keseriusannya
tersebut? Lalu buktinya apa? Sekarang saja masih ada beberapa kecamatan di Surabaya yang belum memiliki SMPN.
Tidak Kurang dari Kecamatan Dukuh Pakis, Benowo dan Gununganyar sampai sekarang belum memiliki SMP Negeri.
Belum lagi jika dilihat dari kenyataan data GAKIN (Keluarga Miskin).
Dari 111.897 KK Gakin 2007 tersebut didapat kenyataan bahwa ada 39.317 anak usia sekolah SMP dan SMA (13-18 tahun). Dari jumlah tersebut ternyata didapatkan 17.190 anak yang tidak mengikuti wajib belajar sembilan tahun alias
tidak mengikuti pendidikan di tingkat SMP. Artinya pula bahwa terdapat 43.72 persen anak usia SMP ke atas dari
keluarga miskin tidak bisa mengikuti Wajar 9 tahun.


Solusi ke depan


Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan Pemkot Surabaya.

Pertama, Pemkot harus meningkatkan
keseriusannya menangani Wajib Belajar 9 Tahun. Tidak perlu banyak retorika, karena yang penting buktinya.

Kedua, pemkot harus serius dalam memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikian khususnya Wajar 9
Tahun dengan benar-benar memperioritaskannya dari program-program yang ada.

Ketiga, pemkot harus melakukan
evaluasi menyeluruh terhadap seluruh program pendidikan yang telah menyedot banyak anggaran.
Sejauh mana program-program dan kegiatan-kegiatan pendidikan efektif untuk mencapai tujuan dan visi kota. Semua
program harus dievaluasi secara serius terkait dengan lima indikator kinerja mulai dari input, output, outcome, benefit
dan impact-nya. Jangan ada program awu-awu saja untuk menghabiskan anggaran mentang-mentang Undang-Undang
mengamanahkan 20 persen APBD untuk pendidikan.

Keempat, pemkot harus mengevaluasi secara keseluruhan institusi dinas pendidikan dan perangtkatnya termasuk
seluruh personelnya sehingga ada jaminan institusi tersebut solid sebagai tim Sukses pembangunan pendidikan Kota
Surabaya. Karena sangat mungkin di antara kegagalan dan ketidak berhasilan pendidikan ini disebabkan dinas
pendidikan tidak mampu membangun tim yang solid.

Ahmad Jabir
(Ketua Komisi D DPRD Surabaya dari PKS)


artikel asli : www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_ content&do_pdf=1&id=13839

No comments:

Post a Comment